Perlahan adalah Kecepatan yang Baru
Oleh Ferdiansyah Thajib
Terkesan seperti sebuah slogan iklan komoditas gaya hidup, judul tulisan di atas adalah bagian dari ungkapan yang muncul dari pergeseran pemaknaan global atas cepat/lambat. Keduanya acap disandingkan, bahkan dipertentangkan, sebagai wajah waktu dalam wacana modernitas.
Akan tetapi, kuasa akselerasi masih merupakan logika utama dalam gerak laju sejarah modern ini. David Harvey (1989), seorang geografer Amerika, mendefinisikan gejala ini sebagai kompresi ruang waktu di mana yang menjadi mesin penggeraknya adalah kapitalisme modern yang terus menerus mengakselerasi laju pertumbuhan ekonomi dan sosial demi mengejar perguliran modal. Wujud paling mutakhir dari pengalaman waktu ruang yang diciutkan ini terlihat dari semakin segeranya relasi antar manusia berkat revolusi teknologi transportasi, informasi dan komunikasi yang berbasis kecepatan, atau singkatnya, momen globalisasi. Yang menjadi prototipe pelaku utama dalam permainan global ini tidak lain adalah seorang Bill Gates; tangkas bergerak, ringan tanpa embel-embel kepemilikan dan selalu dipersenjatai dengan perangkat teknologi tercanggih agar terus menerus in-touch dengan kebaruan [1. Sennet dalam Bauman, 2000, hal. 124-128.].
Pada kenyataannya, gambaran diatas tidak berlangsung tunggal dan sedemikian rigid. Sepanjang sejarah itu pula, kerap muncul kekhawatiran akan dibawa lari kemana pengejaran kecepatan tanpa lelah ini?
Paul Virilio dalam bukunya Speed and Politics (1997) yang mengkritik hubungan kecepatan dan kekuasaan lebih jauh melihat permasalahannya bukanlah sekedar cetusan globalisasi dan atau akumulasi kapital melainkan sebagai dampak dari keterberian konstruk kecepatan itu sendiri yang cenderung divalorisasi dan tidak (dapat?) dipertanyakan kembali. Tindak valorisasi ini mengakibatkan abainya pertimbangan sosial dan dampaknya terhadap lingkungan. Virilio juga mengamati bahwa nilai percepatan pada kenyataannya masih jauh dari dari sifat emansipatoris. Sebaliknya ia menunjukkan kecenderungan ini berujung pada penyempitan ruang publik, pengikisan proses demokratisasi dan menguatnya kompleks militerisme pada tingkatan Negara (contoh kongkrit: pengembangan teknologi rudal pencari musuh dan strategi penyerangan udara Amerika Serikat dalam invasi ke Irak).
Kekhawatiran inilah yang membuka ruang-ruang untuk kembali melakukan negosiasi dengan kultur dominan kecepatan, salah satunya lewat strategi waktu lambat yang ditawarkan oleh Thomas H Eriksen (2001) dan tulisan Carl Honore (2004) yang sedang menjadi pokok bahasan forum ini.
Pilihan Waktu Lambat
Alih-alih sebuah imposisi dan penyeragaman atas beragam pengalaman temporal atau gerakan yang meromantisir waktu, strategi waktu lambat yang ditawarkan oleh karya-karya ini lebih merupakan alternatif di luar kecepatan yang masih mungkin dilakukan, mengingat keduanya adalah dua konstruk yang saling mengandaikan. Kedua tulisan ini bersepakat bahwa yang dimaksud dengan waktu lambat disini bukanlah dengan berlama-lama dan menunda melainkan dengan melangsungkan upaya sadar untuk mengisi waktu secara “penuh” atau dari istilah yang dipinjam oleh Honore dari musik, tempo giusto -menjadi cepat atau lambat sesuai dengan kebutuhan.
Jika buku Eriksen, Tyranny of the Moment berangkat dari perspektif mikro-antropologis yang menekankan perkembangan teknologi serta konsekuensi-konsekuensi (yang tidak diinginkan) dari persinggungannya dengan kuasa kecepatan maka karya Carl Honore, In Praise of Slow lebih memfokuskan wacananya pada gejala makro, yakni semakin meluasnya kelompok minoritas yang memilih untuk tidak hidup dibawah naungan kuasa kecepatan [2. Sosiolog Jerman, Helga Nonowtny (1994: 42) memperingatkan bahwa ruang-ruang di luar kecepatan ini tidak semuanya terbangun karena pilihan, Tidak demikian yang terjadi pada mereka yang dikondisikan untuk lamban , yaitu dengan batasan-batasan fisik, ekonomi, politik dan sosial, singkatnya, sebuah ketidaksetaraan temporalitas. Hal ini yang dinyatakan Nowotny dapat beresiko memunculkan pembagian kelompok masyarakat dalam kecepatan yang berbeda, dimana sebagian besar populasi terancam mengalami ketertinggalan temporal. Seberapa kuat masyarakat dapat menanggung beban segregasi temporal ini masih menjadi pertanyaan terbuka.]. Honore (2004:12) yang mengaku dirinya sebagai mantan pecandu kecepatan ini (speedaholic) berusaha menyelidiki berapa harga yang harus dibayar untuk kecepatan oleh masyarakat dan mereka yang memperlahankan diri di dunia yang terobsesi dengan segala sesuatu yang cepat dan lebih cepat (dan lebih cepat lagi).
Mirip dengan yang terjadi sekarang, abad ke-19 telah menyaksikan penolakan atas akselerasi; di Barat, serikat buruh menuntut waktu luang yang lebih banyak, kaum urban perkotaan meliburkan diri di pedesaan yang tenang, seniman mencari cara untuk mempertahankan estetika waktu lamban di tengah era mesin. Namun kenyataan yang mengusik sekarang, penolakan tehadap kecepatan mulai masuk menjadi arus utama. Adagium “cepat itu lebih baik” dipertanyakan oleh hampir setiap lini masyarakat sejak akhir dekade 1980’an.
Di Austria, Society of Deceleration of Time mendorong pendekatan yang lebih kontemplatif terhadap waktu dan menantang pemaknaan terhadap kecepatan sebagai satu-satunya tolok ukur laju kehidupan. Di Jepang ada Club Sloth, di San Fransisco ada The Long Now Foundation dan pada tahun 2003 Amerika Serikat juga diluncurkan kampanye waktu kerja yang lebih pendek lewat kegiatan tahunan Take Back Your Time Day (menjadi menarik untuk membingkai gerakan Bike2work di Jakarta atau kampanye Free Ride: Jogja [Kembali] Bersepeda yang diprakarsai oleh cyclistreport). Mungkin gerakan paling berskala besar yang terkait dengan kelambanan adalah gerakan Slow Food yang dimulai di Italia tahun 1986. Perlahan tapi pasti, gerakan ini memikat perhatian orang banyak, bahkan bergulir menjadi wacana akademis lewat penerbitan jurnal Slow dan terus meluas menjadi gerakan Slow Cities (1999) dan yang terbaru Slow Sex (2002).
Pada tataran personal, tidak semua orang menyadari bahwa dengan memilih untuk menggunakan sepeda, membatasi jam kerja,menyiapkan masakan, meluangkan waktu untuk berdongeng dengan anak, memperlama hubungan seks dan seterusnya, sebagai sebuah bagian dari trend global untuk melangsungkan tawar menawar dengan kultur dominan kecepatan, dan mungkin tidak perlu. Namun amatan Honore yang disampaikan dengan keringanan tuturan bahasa dan alur narasi yang nyaris terbaca seperti buku pengembangan diri ini cukup menegaskan hadirnya sebuah beragam tindakan dan gagasan yang tengah mengurangi laju percepatan dunia.
Catatan Honore menunjukkan bahwa banyak dari gerakan ini yang mengadopsi segala hal yang berbau tradisi Timur untuk mengolah gagasannya -terutama yang berkaitan dengan ilmu disiplin tubuh yang mengutamakan aspek pengendalian diri, pencapaian ketenangan serta keseimbangan jiwa dan tubuh. Olah pernafasan Chi Kung, eksplorasi tubuh Yoga, aktivitas meditasi, pendekatan medis Ayuverda dari India, pengobatan akupuntur sampai dengan teknik Tantric dalam hubungan seksual semakin digandrungi berbagai lapisan masyarakat di Barat yang lelah dengan pengejaran kecepatan.
Buku ini akan menjadi semakin menarik kalau saja Honore juga menggunakan bingkai yang sama untuk mengamati kecenderungan yang terjadi di belahan Timur dunia, yang seringkali dijadikan rujukan filosofis dari gagasan hidup lambat ini (di luar fenomena situasi kontemporer Jepang yang hibuk tentunya). Bagaimana dengan slogan Yogya berhati nyaman, misalnya, jika dikaitkan dengan pemaknaan atas konstruk kecepatan di kota ini?
Selanjutnya, pemaknaan terhadap lambat yang tadinya merujuk pada kemalasan, kebodohan dan ketidakmenarikan kini digeser menjadi sebuah sikap penuh perhatian, reflektif dan penuh pertimbangan -untuk diperlawankan dengan konstruk kecepatan yang kini dianggap abai terhadap kualitas dan tidak akurat. Menarik untuk diamati bagaimana dalam wawancaranya dengan Honore, para penggiat gerakan Slow ini menampik gagasan bahwa upaya yang tengah mereka lakukan berada dalam kerangka romantisasi dan nostalgia yang berkutat pada masa lalu ideal yang hilang dan tidak dapat dikembalikan. Mereka justru berargumen bahwa kecepatan sudah menjadi gagasan kuno, kadaluwarsa dan ketinggalan zaman,dengan kata lain, perlahan kini menjadi kecepatan baru.
Perlahan itu Cantik
Melampaui oposisi biner cepat/lambat dan skeptisisme apakah gerakan-gerakan yang disampaikan Honore ini mampu dengan segera menanggalkan atau bahkan menjungkirbalikkan tuhan palsu kecepatan, gerakan-gerakan ini setidaknya dapat memberi terang untuk memikirkan kembali makna agensi dalam kehidupan sehari-hari. Buku ini menunjukkan bagaimana waktu yang telah sedemikian larut dalam tuntutan-tuntutan kesegeraan ditawar lewat praksis mikropolitik sehari-hari. Alih-alih pemandangan waktu yang melulu dimaknai secara kuantitatif (Adam,1995: 52) dengan batasan jam dan kalender yang dapat habis, pengalaman waktu diisi secara strategis lewat upaya negosiasi yang terus menerus, di wilayah publik maupun personal. Tegasnya, buku ini menandakan berbagai gagasan dan upaya yang berarti untuk menjadikan kekinian tidak hanya menjadi layak dihidupi tapi juga pantas dinikmati.
Bacaan
- Adam, Barbara. 1995. Timewatch: The Social Analysis of Time. Cambridge: Polity Press.
- Bauman, Z. 2000. Liquid Modernity. Cambridge: Polity Press.
- Eriksen,Thomas H. 2001. Tyranny of the Moment: Fast and Slow Time in the Information Age. Pluto Press
- Harvey, David.1989. The Condition of Postmodernity. Oxford: Basil Blackwell
- Honore, Carl, 2004. In Praise of Slow: How Worldwide Movement is Challenging the Cult of Speed. Orion, London.
- Nowotny, Helga. 1994. Time: The Modern and Postmodern Experience. Cambridge: Polity Press.
- Parkins, Wendy. 2004. “Out Of Time, Fast Subjects and Slow Living” dalam Time & Society. Volume 13, 2004. Sage.
- Virilio, P. 1977. Speed and Dromology: An Essay on Dromology. Foreign Agent Series.
Catatan
Tulisan ini disiapkan sebagai rujukan diskusi Forum Gemar Membaca KUNCI tanggal 13 Januari 2006 tentang buku In Praise of Slow: How Worldwide Movement is Challenging the Cult Of Speed karya Carl Honore (2004), Orion, London.