Indis dalam Indonesia Masa Kini

Oleh Nuraini Julisatuti

Sebelum Jepang datang, atau suatu periode yang disebut sebagai masa “bersiap”, secara umum bisa dikatakan bahwa golongan indo: baik mereka yang berkelahiran Eropa dan tinggal di Hindia, atau mereka yang mempunyai keturunan campuran (pribumi-Eropa), menikmati posisi sosial-ekonomi yang lebih baik dari penduduk lainnya. Meskipun dalam tataran masyarakat Belanda yang tinggal di Hindia, golongan ‘sinyo’ atau anak Eropa berdarah campuran biasanya memiliki status ekonomi lebih rendah. Masa kedatangan Jepang pada 1942 dan masa menjelang proklamasi kemerdekaan Indonesia menjadi masa yang menyedihkan bagi kalangan Indo yang ada di Indonesia. Anton Lucas menyebut peristiwa pembunuhan terhadap kaum Indo pada masa awal Republik Indonesia di bulan-bulan akhir di tahun 1945—sebagai hubungan dengan Peristiwa Tiga Daerah—sebagai ‘masa-masa kacau’. Mereka mengalami anarki paling hebat terutama karena mereka dipandang sebagai orang-orang asing dengan kedudukan ekonomi yang istimewa, serta ada prasangka rasial kuat yang jadi salah satu pemicu berbagai kekacauan tersebut. Pada masa Indonesia kini, golongan Indo mengalami suatu periode yang kembali menyenangkan. Sekarang, fakta mempunyai keturunan keluarga ras campuran menjadi penemuan yang menyenangkan, karena itu artinya tampang “bule” (begitu biasanya orang di Indonesia menamakan seseorang dengan wajah campuran) menjadi pintu masuk yang potensial untuk menjadi artis/selebritis. Artis, selebritis, dunia hiburan, panggung televisi, bagi saya merupakan wacana penting dalam wacana budaya kontemporer Indonesia; dan karena itu kiranya tetap relevan untuk berbicara mengenai fenomena hubungan wacana indo ini pada masa Indonesia paska-kolonial.

Kisah Bertrand Antolin (ayah: Thierry Robert Juhel [Perancis]; ibu: Jennonica Vernorita [Riau] ), yang masa sekolahnya dulu hampir tiap hari dikerjain preman sekolah lain. Setiap hari selalu ada barang bawaannya yang hilang. “Karena tampang gue bule, mereka piker gue anak orang kaya dan barang gue mahal-mahal. Pernah gue pulang sekolah habis-habisan karena sepatu gue diminta, jam tangan gue juga. Padahal sepatu gue enggak pernah lebih dari merek Bata. Dan jam tangan gue itu gue beli di emperan, paling harganya lima ribu. Karena jumlah mereka banyak banget, gue nggak berani dan takut dikeroyok. Makanya gue serahin deh semua barang gue…” (Meteor Indonesia, 2004: 12). Satu poin dari kisah ini adalah tampang bule/indo berarti identik dengan orang kaya.

Kisah Indra L.Bruggman (ibu: Indonesia, ayah: Indo-Belanda). “Di usia belasan, Indra tumbuh jadi lelaki muda yang tampan. Ayahnya memang Indo-Belanda. Menyadari kelebihan itu, didorong oleh seluruh keluarga, ia mencoba mengikuti pemilihan model sampul di majalah remaja…” (Meteor Indonesia, 2004: 22).

Jika ingin mengurutkan satu demi satu, kita masih bisa menyebutkan deretan panjang artis-artis Indo di Indonesia: Chintami dan Minati Atmanegara (Indo-Jerman), Ryan Hidayat (Indo-Cekoslowakia), Dian Nitami dan Agnes Monica (Indo-Jepang), Marisa Haque (Indo-Pakistan), Bucek Depp (Indo-Arab).

Indo mengandung makna yang saling bersilang di dalamnya. Ia bisa dikatakan berwajah ‘putih’, terutama jika dibandingkan dengan warna kulit sebagian besar masyarakat Indonesia yang sebagian besar berwarna kekuningan atau sawo matang. Dan bisa dikatakan ia juga bisa mewakili representasi kecantikan utama dunia yaitu berkulit putih. Meskipun ia juga tidak bisa dikatakan 100% ‘putih’ karena mungkin hanya pihak ayah atau pihak ibunya saja yang berkulit putih, atau bahkan mungkin ia mendapatkannya dari pihak kakek dan nenek. Sehingga mereka hanya 50% putih atau 25% putih. Ia ‘global’ sekaligus juga ‘lokal’. Dan mesin besar kapitalisme, yang diperkuat oleh globalisasi, menyerap wajah-wajah indo ini dalam pasar dunia iklan atau hiburan, karena merekalah yang mewakili arus utama kecantikan atau ketampanan di masyarakat.

Pada perkembangan berikutnya, kita bisa melihat representasi wajah-wajah lain yaitu mereka yang berkulit hitam atau kebangkitan luar biasa wajah-wajah oriental. Untuk kasus Indonesia kita tentu juga masih dapat mengingat deretan artis-artis keturunan Tionghoa yang meroket namanya setelah popularitas serial televisi Meteor Garden (Leony, Fery Salim, Roger Danuarta, dsb.). Kapitalisme selalu membutuhkan pasar yang luas, termasuk keinginan untuk juga diterima di ruang-ruang yang spesifik. Inilah saya rasa salah satu poin yang bisa menjelaskan peningkatan wajah-wajah kulit gelap atau oriental. Sekaligus menunjukkan kepada kita bahwa wacana atau gagasan tentang ‘putih’ juga berubah-ubah. Di majalah perempuan semakin sering dijumpai tulisan tentang tips perawatan kulit bagi mereka yang berkulit gelap. “Biar Kulit Hitam Asal Tetap Sehat”, begitu kira-kira katanya, lengkap dengan paparan kosmetik jenis apa saja yang bisa dipakai untuk kepentingan kulit gelap yang dibicarakan itu.

Dalam bagian diatas, kita berhadapan dengan hibridasi organik, yang timbul karena perkawinan campuran antar ras; sekarang marilah kita berbicara perihal hibridasi non-organik sebagai percampuran konsep kebudayaan yang berbeda-beda. Gagasan bahwa identitas kebudayaan selalu bersifat tidak stabil menuju pada pemahaman bahwa kebudayaan dan ientitas itu selalu merupakan percampuran dan pertemuan berbagai kebudayaan dan identitas.

Kasus Bahasa

Persoalan Bahasa Belanda vs Bahasa Melayu misalnya sudah menjadi bahan perdebatan pada jaman pergerakan Indonesia, antara Sarikat Islam dan Budi Utomo. Apakah sebaiknya setiap pembicaraan mengenai nasib republik ini dibicarakan dalam bahasa Belanda atau bahasa Melayu? Dalam Anak Semua Bangsa karya Pramoedya Ananta Toer misalnya, terjadi perdebatan antara Minke—yang selalu menulis dalam bahasa Belanda—dengan Kommer yang menerjemahkan artikel-artikel Minke dalam bahasa Melayu, dengan alasan “sehingga pembaca yang berbahasa Melayu simpati kepada perjuangan Minke yang sah”.

Sutan Takdir Alisyahbana mengutarakan hal yang menarik berkaitan dengan bahasa Belanda sebagai pengkatrol posisi sosial: “Selama 25 tahun pertama abad 20, orang Indonesia berulangkali minta kesempatan lebih besar agar anak mereka boleh belajar bahasa Belanda. Akibatnya bahasa Belanda mendapat kedudukan yang amat penting dalam masyarakat Indonesia. Ini tidak hanya menjadi prasyarat untuk melanjutkan pendidikan Barat seseorang tapi juga untuk mendapat pekerjaan yang gajinya tinggi. Bahkan lepas dari ini, mampu belajar bahasa Belanda lama kelamaan menjadi tanda termasuk kelas tinggi baru dalam masyarakat Indonesia” (Allen 2004: 225).

Saat ini di Jakarta terdapat banyak sekolah—dari SD hingga SMU—yang menamakan dirinya sekolah internasional karena mereka mengatakan memakai kurikulum yang berbeda dari sekolah lain, dan pelaksanaan belajar-mengajar menggunakan bahasa Inggris. Bentuk sekolah macam ini banyak diminati oleh para orang tua di Jakarta. Kelancaran berbahasa Inggris menjadi salah satu penanda keberhasilan seorang anak. Ada percampuran kuat antara usaha untuk berhasil dalam persaingan di tingkat global—yang kerap disederhanakan dengan hanya pandai berbahasa Inggris—dengan harapan untuk memperoleh status sosial terhormat di masyarakat lokal. Pasar dunia kerja di Indonesia menempatkan lulusan sekolah luar negeri—apapun itu—dalam jenjang yang lebih tinggi. Satu bulan lalu saya masih membaca iklan lowongan redaktur pelaksana Majalah Femina yang dalam salah satu syaratnya tertulis: diutamakan lulusan luar negeri.

Antariksa dalam Identitas Hibrida (Newsletter KUNCI ed.6-7) menyebut dengan jelas bahwa dalam budaya anak muda, gaya menjadi aparatus identitas anak muda yang terpenting dan karena itu menjadi arena hibridasi yang utama. Beberapa contoh bisa disebut disini: musik rap yang dinyanyikan dalam bahasa Indonesia dan Jawa (Neo, Iwa K, G-Tribe), internasionalisasi musik (rock, rap, hip metal, punk), internasionalisasi merek (MTV, Nike, Adidas), atau internasionalisasi olahraga (NBA, sepak bola Itali atau Inggris, dsb.), atau model rambut yang dicat pirang, dijadikan model rasta, mereka yang biasa disebut sebagai “bulok” (bule lokal). “Mana yang asli Indonesia dan mana yang bukan tidak lagi penting karena yang utama adalah gaya.”

Sampai disini saya akan menyinggung ucapan James Clifford yang mengatakan bahwa kebudayaan tidak lagi mencukupi jika dipahami dalam kaitannya dengan suatu tempat, melainkan akan lebih baik jika ia dipahami dalam term perjalanan. Budaya sebagai suatu perjalanan. Budaya dan orang-orang yang selalu dalam perjalanan dari suatu tempat ke tempat lain. Cultures as sites of dwelling and travel, to take travel knowledge seriously. Culture as criss-crossing travelers.

Berhubungan dengan konsep perjalanannya Clifford ini, satu contoh lain yang mungkin menarik adalah anak-anak muda yang mengenakan kaos Harvard University, UCLA, atau Hard Rock Café (California) di jalan-jalan di Jakarta atau Yogyakarta, meski sangat mungkin mereka yang mengenakan kaos-kaos tersebut belum pernah pergi ke tempat-tempat yang tertulis dalam kaos mereka. Tetapi jelas mereka telah melakukan perjalanan untuk berpegang pada simbol-simbol tertentu, tanpa perlu melakukan perjalanan fisik. Berkaitan dengan orang-orang yang mengenakan kaos Che Guevara atau Osama bin Laden, pertanyaannya adalah apakah ini sekedar lambing fetisisasi atas simbol budaya lain ataukah salah satu cara untuk melokalkan simbol-simbol yang sudah dianggap global. Untuk contoh diatas, tempat-tempat penjualan pakaian-pakaian bekas merupakan media sempurna tempat pakaian-pakaian yang telah melakukan perjalanan panjang dari tempat asalnya berkumpul, tempat anak muda bisa mendapatkan segala jenis pakaian, dan mungkin dengan segala simbol dan atribut “global”, dan mungkin juga model-model pakaian yang tidak sesuai dengan iklim tropis negeri ini. Sweater-sweater tebal, jaket kulit berbulu, dipakai di jalanan panas kota Yogyakarta. Mungkin tampak cocok, mungkin juga tidak. Makna asli pakaian bekas tersebut telah dikosongkan, dan diisi dengan makna-makna baru.

Dalam kondisi masyarakat Indonesia yang serba terpotong-potong oleh wacana budaya global inilah yang memungkinkan kita untuk melakukan upaya percampuran sekaligus juga menjadi terbuka upaya untuk melakukan peniruan-peniruan. Tetapi tidak lantas peniruan disini dimaknai sebagai suatu bentuk takluk kepada budaya tertentu atau sesuatu yang katanya datang dari “barat”—yang dalam banyak hal sering mengendap dalam kesadaran kepala kita sebagai “pusat”; mungkin akan lebih cocok dikatakan bahwa yang terjadi adalah pergantian posisi “pusat” dan “pinggiran”. Dalam konteks ini, akan dapat juga dijumpai peniruan-peniruan yang tidak pada tempatnya, peniruan yang salah tempat, yang tidak cocok dan penuh kejanggalan. Suatu kondisi yang pada hakekatnya menyiratkan bahwa berada di “pinggiran” tidak selalu berarti terpinggirkan, karena justru dengan segala kejanggalan itulah posisi “pusat” diguncang, dipertanyakan kembali, sekaligus disesuaikan dan dimanfaatkan sesuai kebutuhannya.

Makalah ini dipresentasikan dalam diskusi proyek seni visual “Membongkar Koper Budaya Indies: Dari Anyer Panarukan ke Sabang sampai Merauke” yang diselenggarakan oleh Kedai Kebun Forum, Yogyakarta, 2004.